Orangutan, Kita, dan Bumi: Konservasi Bukan Tugas Satu Profesi Saja
- Rais Brema Ginting
- 22 Apr
- 3 menit membaca
Setiap tanggal 22 April, dunia merayakan Hari Bumi sebagai momentum refleksi global. Tahun ini, Earth Day 2025 mengusung tema “Our Power, Our Planet”, sebuah seruan kuat bahwa setiap individu memiliki kekuatan untuk menjaga kelestarian bumi. Namun, dalam praktiknya, isu lingkungan masih sering dianggap sebagai tugas segelintir pihak saja—aktivis, ilmuwan, atau petugas berseragam. Seolah-olah menyelamatkan planet ini bukan urusan kita semua.
Kita lupa bahwa bumi tidak memilah siapa yang merasakan dampak krisisnya. Ketika udara kotor, cuaca ekstrem, dan sumber daya menipis, semua kena imbas—tak peduli apakah kita peduli lingkungan atau tidak. Maka, pertanyaannya bukan lagi "apa yang sudah mereka lakukan?", tapi "apa yang sudah kita lakukan?"
Orangutan: Lebih dari Sekadar Satwa yang Terancam Punah
Orangutan adalah spesies endemik Indonesia yang kini semakin terdesak. Mereka bukan hanya ikon eksotis yang menghiasi brosur pariwisata. Mereka adalah penjaga hutan tropis, penyebar biji alami, dan bagian penting dari rantai ekosistem.
Namun, habitat mereka terus tergerus. Di Kalimantan dan Sumatra, hutan diganti oleh kebun sawit, pertambangan, dan pemukiman. Rumah alami mereka hancur, memaksa mereka berpindah ke lahan yang tak cocok untuk bertahan hidup. Ada yang akhirnya masuk ke area pemukiman, ada yang jadi tontonan, dan tak sedikit yang berakhir di kandang.
Konservasi orang utan bukan hanya tentang menyelamatkan satu jenis hewan. Ini tentang menjaga satu sistem kehidupan yang lebih besar, yang sebenarnya juga menopang hidup manusia.
Deforestasi: Ketika Hutan Dianggap Hambatan Pembangunan
Film dokumenter Before the Flood yang dibawakan oleh Leonardo DiCaprio membuka mata kita tentang bagaimana gaya hidup modern dan sistem ekonomi global telah mempercepat kerusakan lingkungan. Dari hutan yang ditebang demi industri hingga polusi dari energi fosil, semuanya saling terhubung dalam siklus yang merugikan bumi dan makhluk hidup didalamnya. DiCaprio mengatakan, “If you do not believe in climate change, go to the frontlines—go to where the ice is melting, where the coral reefs are dying, and where the forests are burning.” Kutipan ini menegaskan bahwa krisis lingkungan bukan sesuatu yang jauh di masa depan—ia sudah terjadi sekarang, dan pilihan kitalah yang menentukan apakah bumi ini bisa dipulihkan.
Di dunia nyata, deforestasi memutus siklus kehidupan. Hilangnya pohon berarti hilangnya penyerap karbon, pelepas oksigen, dan habitat bagi makhluk hidup seperti orang utan. Satu mata rantai yang putus bisa mengguncang seluruh sistem, termasuk manusia di ujungnya.
Kita tidak bisa terus-menerus membangun tanpa arah. Infrastruktur penting, tapi jangan sampai menggusur yang jauh lebih penting: ekosistem yang sehat dan keberlanjutan hidup.
Gaya Hidup Kita Berpengaruh Besar
Banyak yang merasa tidak punya hubungan langsung dengan nasib orang utan. Tapi mari lihat lebih dekat. Pilihan kita sehari-hari punya dampak nyata. Ketika kita:
Membeli produk berkemasan plastik sekali pakai
Tidak memilah sampah
Mengikuti gaya hidup konsumtif dan boros energi
Mengabaikan asal-usul bahan baku dalam produk yang kita gunakan
...secara tidak langsung, kita mendorong industri untuk mengekspansi lahan—yang artinya, hutan ditebang, dan orangutan kehilangan rumah. Sebaliknya, kita bisa mulai mengubah arah:
Kurangi konsumsi yang tidak perlu
Gunakan barang tahan lama
Bawa wadah sendiri saat belanja
Pilih produk yang ramah lingkungan
Dukung gerakan restorasi hutan dan konservasi satwa liar
Langkah kecil, tapi bila dilakukan oleh jutaan orang, dampaknya besar.
Hibah Ekologis dan Kesadaran Kolektif
Hutan tropis bisa diibaratkan sebagai halaman belakang rumah bumi. Kita tidak harus menjadi peneliti atau relawan di lapangan untuk peduli. Hibah ekologis bisa dimulai dari rumah: tanam pohon, buat kompos, sediakan tempat sampah terpisah, atau pelihara taman kecil yang menyerap karbon.
Masyarakat kita dulunya punya semangat gotong royong yang kuat. Sayangnya, kini kita sibuk sendiri-sendiri. Padahal, semangat kolektif adalah modal terbesar untuk menciptakan perubahan besar—termasuk dalam konservasi orangutan.
Kendaraan, Energi, dan Polusi: Siklus yang Tak Terputus
Saat kita sibuk mengejar tren kendaraan listrik tanpa memikirkan limbah baterainya, atau ketika rumah kita dipenuhi barang murah yang cepat rusak, kita sebenarnya sedang menciptakan jejak ekologis yang besar.
Konservasi bukan hanya soal menjaga hewan liar, tapi juga soal mengurangi tekanan terhadap bumi dari segala sisi. Gunakan energi seperlunya, matikan peralatan saat tidak dipakai, batasi transportasi pribadi, dan gunakan moda transportasi umum jika memungkinkan.
Orangutan dan Earth Day: Sebuah Simbol dan Pengingat
Orangutan menjadi simbol refleksi yang kuat. Mereka mewakili suara yang tak terdengar di tengah hiruk-pikuk pembangunan. Melalui mereka, kita diingatkan bahwa menjaga bumi bukan hanya urusan pemerintah atau organisasi internasional. Ini urusan kita semua.
Tema Earth Day 2025, “Our Power, Our Planet”, bukan sekadar slogan. Ia adalah ajakan untuk mengakui bahwa kita punya kuasa. Dan kuasa itu harus dipakai untuk menyelamatkan bukan hanya satu spesies, tapi seluruh ekosistem yang menopang kehidupan.
Penutup: Jangan Lagi Menunda
Bumi tidak menunggu. Orang utan tidak bisa menunggu. Jika kita menunda, bukan hanya mereka yang punah, tapi masa depan kita sendiri.
Mari berhenti berkata “itu bukan tugas saya.” Karena planet ini adalah rumah kita bersama. Kita semua bagian dari masalah, dan kita semua bisa jadi bagian dari solusi.
Mulailah dari diri sendiri. Dari rumah. Dari kebiasaan kecil. Karena kekuatan terbesar ada pada kita semua—manusia biasa yang memilih untuk peduli.
Ditulis Oleh: Rais Brema Ginting
Comments